Morowali Sulteng.Rekan Rakyat,— Menjelang akhir 2023 hingga memasuki tahun 2024, Kabupaten Morowali diguncang gelombang aksi unjuk rasa yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Aksi-aksi tersebut menyasar perusahaan, lembaga legislatif, hingga pemerintah desa.
Bermula dari unjuk rasa buruh yang dibatalkan oleh Aliansi Pekerja Jasa Konstruksi dan Energi Rakyat (APjKER), hingga demo terhadap perusahaan yang dianggap mengingkari kesepakatan terkait ganti rugi lahan warga.
Penolakan atas penetapan kepala desa sebagai tersangka oleh pemerintah daerah pun menjadi sorotan, dituding sebagai bagian dari skenario politisasi jabatan.
Tak hanya itu, sejumlah pergantian pejabat di lingkup Pemkab Morowali disebut-sebut akibat tekanan tertentu.
Gelombang protes juga muncul dari warga yang menuntut pemenuhan sembilan poin terhadap sebuah perusahaan, hingga aksi pemblokiran kantor desa karena ketidaktransparanan pemerintah desa dalam penyaluran dana yang diklaim akan diperuntukkan bagi masyarakat.
“Masyarakat bisa saja diperhadapkan dengan berbagai trik yang justru membingungkan mereka. Padahal hak-hak yang seharusnya mensejahterakan, malah menciptakan ketidaknyamanan,” ujar Delsendir, seorang tokoh masyarakat yang ditemui bersama H. Kinambuka di sebuah kafe di kawasan Pantai Matano, Kecamatan Bungku Tengah.
Delsendir berharap rentetan konflik tersebut tidak berujung pada kepentingan kelompok tertentu yang berlindung di balik nama masyarakat.
Ia khawatir program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) malah dijadikan alat bisnis oleh oknum yang memanfaatkan keresahan warga.
Senada dengan itu, H. Buka, warga Tobungku, mengungkapkan keprihatinannya atas situasi Morowali saat ini. Dalam bahasa Bungku ia menyampaikan, "Fainto to Morowali, eii, su damo, da amoo, mo si salai"—yang artinya "Kasihan masyarakat Morowali saat ini, tidak perlu saling menyalahkan."
“Bagi warga yang merasa belum mendapat haknya, sebaiknya menyerahkan kepada pemerintah. Pemerintahlah yang memiliki kewenangan untuk mencari solusi atas pemberian izin kepada perusahaan yang beroperasi di daerah ini,” ujarnya.
Ia mengingatkan masyarakat agar tidak mudah terprovokasi dan terjebak dalam manuver pihak-pihak berkepentingan yang sengaja ingin menggoyahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
“Demo dan pemblokiran kantor desa sah-sah saja sebagai bentuk ekspresi, tapi perlu disadari apakah hasilnya benar-benar dirasakan masyarakat atau justru menjadi celah bagi oknum untuk meraup keuntungan melalui dana CSR dan kompensasi lain,” katanya.
H. Buka menutup dengan harapan agar kepemimpinan Bupati Morowali saat ini mampu menjawab keresahan warga dan mendistribusikan program pembangunan secara merata dan adil.
“Sebagai orang tua, kami hanya bisa mendoakan. Semoga pemerintah dapat memperkuat rantai pembangunan dan menjalankan tugas dengan maksimal. Jayalah Tanah Timur To Bungku,” pungkasnya.(Del)