Korban Terorisme Masa Lalu Kini Bisa Ajukan Kompensasi Hingga 2028



PALU.Rekanrakyat,— Korban langsung dari tindak pidana terorisme masa lalu yang belum mendapatkan kompensasi, kini masih memiliki kesempatan untuk mengajukan bantuan kompensasi hingga 22 Juni 2028. 

Hal ini menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperpanjang batas waktu pengajuan selama 10 tahun.

Putusan tersebut tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-XXI/2023 tanggal 29 Agustus 2024, sebagai hasil uji materi terhadap Pasal 43M Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 

MK menyatakan bahwa batas waktu pengajuan kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme masa lalu (dengan rentang kejadian 2002 hingga 2018), diperpanjang menjadi 10 tahun sejak Undang-Undang tersebut diundangkan, atau hingga 22 Juni 2028.

Informasi ini disampaikan dalam konferensi pers yang digelar di Tanaris Coffee, Jalan Juanda, Palu, Selasa (24/6), yang dihadiri oleh dua Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias dan Mahyuddin, serta Kasubdit Pemulihan Korban Aksi Terorisme BNPT, Rahel.

Agenda ini sekaligus menjadi sarana sosialisasi untuk memperluas jangkauan informasi kepada para korban yang belum terdata.

“Masih banyak sekali korban yang belum mendapatkan kompensasi, khususnya di Sulawesi Tengah,” ujar Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias.

Ia menjelaskan bahwa perpanjangan masa pengajuan kompensasi ini merupakan hasil dari proses hukum yang diawali oleh tiga orang korban langsung. 

“Mereka mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi dengan harapan agar kesempatan mengakses kompensasi bisa lebih luas dan tidak terbatas waktu,MK kemudian mengabulkan permohonan tersebut melalui putusan yang kini membuka ruang sampai 2028,” jelasnya.

Sulis juga mengungkapkan bahwa sejak awal pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, pemerintah melengkapi aturan teknisnya dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. 

PP ini menjadi landasan hukum pelaksanaan pemberian kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme masa lalu. 

“Melalui PP tersebut, LPSK mulai menerima permohonan kompensasi dari para korban yang sebelumnya belum mendapatkan haknya,” jelasnya.

Selama periode awal pelaksanaan kompensasi pada 2021 hingga 2022, LPSK mencatat sebanyak 572 korban terorisme masa lalu telah menerima bantuan di seluruh Indonesia, dengan total nilai kompensasi mencapai Rp98,975 miliar. 

“Khusus untuk wilayah Sulawesi Tengah, terdapat 142 korban langsung yang telah menerima kompensasi dengan total nilai sebesar Rp23,92 miliar,” ungkap Bu Sulis.

Ia merinci bahwa dari 142 korban di Sulawesi Tengah tersebut, terdiri dari 45 ahli waris korban meninggal dunia, 21 korban luka berat, 64 korban luka sedang, dan 12 korban luka ringan. 

“Ini menjadi bukti nyata bahwa negara hadir, namun masih ada yang belum terjangkau. Karena itu kami perluas jangkauan melalui konferensi pers dan berbagai kanal lainnya,” tegasnya.

Ia juga menambahkan bahwa bantuan kompensasi ini hanya diberikan kepada korban langsung, bukan kepada keluarga atau kerabat, kecuali bagi korban meninggal dunia yang diwakili oleh ahli waris. 

“Kami menyadari tidak semua korban tahu informasi soal kompensasi ini. Karena itu kami bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menyebarluaskan informasi ini,” imbuhnya.

LPSK juga telah mengambil langkah proaktif dengan mendekati komunitas dan tokoh masyarakat. 

“Kami sudah turun langsung ke beberapa wilayah, berdialog dengantokoh masyarakat setempat, untuk menggali data korban yang belum teridentifikasi. Ini penting agar hak-hak mereka tidak terabaikan,” tambahnya.

Sementara itu, PerwakilanLPSK Mahyuddin menjelaskan bahwa lahirnya perpanjangan waktu pengajuan kompensasi ini tidak lepas dari berbagai keterbatasan yang dihadapi dalam pelaksanaan pemberian kompensasi kepada korban terorisme masa lalu.

Menurut Mahyuddin, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 sebenarnya telah mengatur kewajiban negara untuk memberikan kompensasi kepada korban tindak pidana terorisme, dengan batas waktu pelaksanaan selama tiga tahun sejak undang-undang tersebut disahkan, yaitu dari 2018 hingga 2021.

“Namun dalam pelaksanaannya, banyak kendala teknis yang kami hadapi saat itu,” ungkapnya. 

Salah satu tantangan terbesar adalah proses penetapan jumlah kompensasi yang memerlukan asesmen mendalam dan verifikasi administrasi. 

Selain itu, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2020, yang menjadi landasan teknis baru diterbitkan pada Juli 2020, sehingga waktu yang tersedia untuk menerima dan memproses permohonan sangat terbatas.

“Dengan sisa waktu yang hanya sekitar satu tahun, banyak proses yang belum bisa kami selesaikan, apalagi dalam situasi pandemi COVID-19 yang saat itu membatasi mobilitas dan akses lapangan,” jelas Mahyuddin.

Dengan adanya putusan terbaru dari MK, kata Mahyuddin, LPSK kini memiliki tambahan waktu tiga tahun efektif hingga 22 Juni 2028. 

“Kami optimistis, dengan persyaratan administrasi yang sebelumnya sudah kami siapkan selama tiga tahun terakhir, proses penerimaan permohonan dan penyaluran kompensasi berikutnya akan lebih cepat dan efisien,” tegasnya.

Ia juga mengajak media massa dan seluruh pihak terkait untuk membantu menyebarluaskan informasi ini. 

“Kami ingin informasi ini menjangkau para korban, baik yang sudah teridentifikasi dalam data kami maupun yang belum kami jangkau. Kami juga terus berkoordinasi dengan BNPT sebagai lembaga yang memiliki kewenangan menetapkan surat keterangan korban,” tutup Mahyuddin.

Kasubdit Pemulihan Korban Aksi Terorisme BNPT, Rahel, menyampaikan bahwa para korban yang belum mendapatkan haknya dapat mengakses layanan melalui situs resmi BNPT di www.bnpt.go.id atau melalui akun Instagram @porsitas.bnpt. 

“Di situ tersedia tautan untuk mengunduh formulir permohonan yang harus diisi dan dilengkapi dengan dokumen pendukung seperti bukti peristiwa, foto luka, atau data lain yang relevan,” ujar Rahel.

Ia menambahkan, setelah dokumen masuk, akan dilakukan proses identifikasi, asesmen, dan rapat pleno internal untuk memastikan bahwa pemohon benar merupakan korban tindak pidana terorisme. 

“Jika telah memenuhi syarat, maka korban akan mendapat surat penetapan dari BNPT yang kemudian menjadi dasar formil untuk mengajukan kompensasi ke LPSK,” pungkasnya.(Irwan)