Kemendukbangga Atasi Stunting dan Kerentanan Demografi



PALU.Rekan Rakyat,- Sekretaris Kementerian Kependudukan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (Kemendukbangga/BKKBN), Prof. Budi Setiyono, S.Sos., M.Pol.Admin., Ph.D, menegaskan kebijakan wajib belajar 13 tahun merupakan langkah strategis untuk menyiapkan SDM yang mampu menjawab kebutuhan pasar kerja. 


“Saat ini dunia usaha mensyaratkan pendidikan minimal SMA. Karena itu wajib belajar 13 tahun bukan hanya kebijakan pendidikan, tetapi fondasi penting untuk memastikan anak-anak kita siap memasuki dunia kerja,” tegas Prof. Budi saat melakukan konfrensi pers dengan awak media lokal di Sulawesi Tengah, Jumat (21/11/2025) di Sriti Convention Hall Palu.


Ia juga menekankan perlunya peningkatan keterampilan profesi agar generasi muda dapat memiliki daya jual di dunia usaha. “Dengan sertifikat kompetensi, mereka bisa menjual keterampilannya dan memperoleh pendapatan mandiri. Ini penting untuk menyiapkan SDM yang siap kerja,” tambahnya. 


Indonesia menghadapi tantangan besar di tengah bonus demografi, di mana 70 persen populasi kini berada pada usia produktif namun sebagian besar masih berada dalam kondisi rentan. Tingkat pengangguran muda mencapai 17,45 persen pada kelompok usia 15–24 tahun, menunjukkan ketidaksesuaian antara sistem pendidikan dan kebutuhan pasar kerja. Selain itu, perempuan yang bekerja di sektor formal baru mencapai 35,75 persen, menandakan belum optimalnya pemanfaatan potensi ekonomi perempuan.


Kondisi ketenagakerjaan juga memperlihatkan kerentanan struktural, dengan 59,11 persen tenaga kerja masih berada di sektor informal tanpa jaminan sosial, pensiun, maupun akses pelatihan yang berkelanjutan. Kerentanan keluarga turut terlihat dari 516.344 kasus perceraian pada tahun 2022. Dalam aspek ekonomi, rasio tabungan masyarakat stagnan di angka 30 persen PDB, sementara utang rumah tangga meningkat 18 persen. Selain itu, 19,8 persen anak di Indonesia masih mengalami stunting, menunjukkan urgensi penguatan intervensi kesehatan dan keluarga.


Berbagai tantangan tersebut menjadi dasar penting bagi Kemendukbangga dalam memperkuat sejumlah program strategis, seperti Tamasya (Taman Asuh Sayang Anak) yang memberikan layanan penitipan anak untuk mendukung ibu bekerja dan meningkatkan partisipasi perempuan dalam ekonomi. Program Genting (Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting) diperkuat untuk membantu keluarga rentan dalam pencegahan stunting. Selain itu, Sidaya (Lanjut Usia Berdaya) diarahkan untuk meningkatkan kemandirian lansia, sementara Gerakan Ayah Teladan Indonesia difokuskan pada peningkatan peran ayah dalam pengasuhan dan ketahanan keluarga.


Sementara itu, untuk agenda Percepatan Penurunan Stunting, Kemendukbangga berkolaborasi dengan Badan Gizi Nasional. saat ini sudah menyasar 3B (Busui, Bumil, Balita Non Paud). Nantinya juga akan mencakup penyediaan layanan MBG 3B bagi wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).


“Sedang kita buat Bersama BGN untuk bisa memiliki karakteristik layanan yang berbeda dibandingkan layanan di wilayah pada umumya, agar responsif terhadap kondisi geografis dan tantangan lapangan yang lebih kompleks” ujarnya.


Dalam skema awal, kapasitas layanan standar SPPG mencapai sekitar 3.000 penyedia. Namun untuk layanan spesifik 3B di 3T, kapasitas diperkirakan berada pada kisaran 500 - 1.000 penyedia. 


“Ini masih dalam pembahasan. Intinya, layanan 3B memiliki desain berbeda dan lebih fleksibel, serta akan dilakukan bersama pemerintah daerah melalui konstruksi tata kelola dan distribusi yang lebih adaptif,” jelasnya.


Program tersebut dijadwalkan mulai berjalan pada Januari 2026. Saat ini proses uji coba sedang berlangsung di dua wilayah Kabupaten dan Kota Bogor yang dipilih karena mewakili karakteristik 3T. Hasil uji coba tersebut akan dirumuskan sebagai peraturan BGN yang menjadi dasar pelaksanaan nasional.


Di sisi lain, pemerintah juga tengah menyempurnakan struktur Tim Pencegahan Percepatan Penurunan Stunting untuk memperkuat kolaborasi antar lembaga. Jika sebelumnya ketua tim berasal dari BKKBN, ke depan akan ada penunjukan dari lembaga lain. Pemerintah juga mencatat progres positif dengan prevalensi stunting nasional berada pada angka 19,8% berdasarkan SSGI Februari 2025, turun dari 21,5% pada 2023. Target nasional pada rilis data tahun depan adalah mencapai angka 18%.


Memasuki awal Desember, Kemendukbangga/BKKBN akan melakukan pemantauan dan evaluasi lapangan yang hasilnya menjadi dasar pemberian insentif fiskal bagi daerah. Langkah ini dimaksudkan untuk memastikan pemerintah daerah benar-benar memperkuat kesejahteraan masyarakatnya melalui perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan, fasilitas layanan, hingga proyeksi pertumbuhan penduduk. 


Kepala Perwakilan BKKBN Sulawesi Tengah Tenny C. Soriton, S.Sos.,MM menjelaskan Sulawesi Tengah menjadi salah satu daerah yang menunjukkan progres signifikan dalam penurunan stunting melalui aksi konvergensi. Kota Palu dan Morowali telah menerima insentif fiskal percepatan penurunan stunting. Sementara Provinsi Sulawesi Tengah menjadi kandidat penilaian pembangunan kependudukan.


“Sulteng salah 1 dari 9 prov dinilai oleh kemendagri dan kemendukbangga/BKKBN untuk mendapatkan penghargaan sebagai provinsi punya komitmen terhadap program menuntaskan pada stunting” ujarnya.(***)


Source: Kemendugbangga/BKKBN Sulteng